Di Era Pasca-Dongeng, Karakter Bisa Tuntut Narasi!
PROLOG 🎬
Di era digital yang serba cepat ini, cerita-cerita lama tak pernah benar-benar mati—mereka hanya berubah bentuk. Dulu hanya dongeng sebelum tidur, kini berubah menjadi konten yang bisa viral di TikTok, podcast Spotify, dan bahkan NFT dengan harga selangit.
Namun, bagaimana jadinya jika para tokoh legendaris itu tidak hanya hidup dalam bayangan cerita lama, melainkan benar-benar eksis—dengan akun media sosial mereka sendiri, agensi personal branding, dan trauma-trauma yang belum sembuh?
Nawang Wulan yang dulunya dikenal sebagai bidadari penanak nasi ajaib, kini menjadi lifestyle influencer dengan jutaan follower. Atau Jaka Tarub, si lelaki desa yang dulu hanya mencuri selendang, kini berusaha menebus masa lalu dengan menjadi aktivis kesetaraan naratif digital.
Mereka semua hidup di semesta yang sama: Story Tanpa Kadaluarsa. Sebuah dunia di mana dongeng harus bernegosiasi dengan algoritma, dan mitos berhadapan dengan monetisasi.
Di sinilah cerita dimulai. Dengan konflik identitas, benturan nilai, dan dilema eksistensial para karakter yang dulu hanya kita temui di buku pelajaran. Tapi kali ini, mereka punya suara. Dan mereka menuntut hak naratif mereka kembali.
Redaksi
***
KEPULANGAN NAWANG WULAN
Suara pintu otomatis terbuka. Cahaya biru keunguan menyelimuti sebuah penthouse di lantai 52. Di tengah ruang tamu, seorang perempuan bersayap holografik berdiri diam. Namanya: Nawang Wulan. Tapi kini dikenal sebagai @WulanSky—lifestyle influencer sekaligus CEO startup "Selendang.AI".
NAWANG WULAN: (berbisik sambil menatap cermin pintar)
"Selendang... masih kamu. Tapi dunia nggak lagi sama."
Suara notifikasi menyala.
Cermin: "Wulan, engagement rate Anda turun 3,2%. Mungkin Anda perlu mengunggah throwback soal Jaka."
NAWANG WULAN:
"Cukup. Aku capek jadi konten dari masa lalu. Aku bukan legenda. Aku realita."
JAKA TARUB DI ACARA TALKSHOW VIRAL
Studio penuh lampu neon. Jaka Tarub, mengenakan hoodie hitam bertuliskan “Consent Matters”, duduk sebagai bintang tamu dalam acara Ngobrol Netral Netral Aja. Di hadapannya: host sinis dan netizen galak.
HOST:
"Jaka, jujur aja. Waktu kamu ambil selendangnya Nawang Wulan, itu apa sih? Cinta? Obsesi? Atau toxic masculinity?"
JAKA:
(terdiam, menghela napas)
"Dulu... aku pikir aku cuma jatuh cinta. Tapi sekarang aku sadar: aku nggak pernah minta izin. Aku nyesel."
Netizen mulai menyerang di kolom komentar:
"#JakaCancelled #PelakuLegendaris #SelendangBukanMilikmu"
JAKA:
"Aku terima semua ini. Tapi jangan bunuh cerita kami. Bantu kami menulis ulang."
RUANG RAHASIA DI BALIK STARTUP "SELENDANG.AI"
Wulan duduk di depan wall screen yang menampilkan arsip dongeng digital. Di belakangnya muncul sosok misterius: Gandring 3.0—AI engineer sekaligus reinkarnasi empu legendaris.
GANDRING:
"Kita bisa rewrite semua dongeng. Kamu mau jadi simbol feminisme atau cyber dewi?"
NAWANG WULAN:
"Aku mau jadi diriku sendiri. Bukan produk algoritma. Bukan pelarian trauma."
GANDRING:
"Sayangnya, dunia nggak sabar untuk kompleksitas. Mereka cuma mau konten yang clickbait."
NAWANG WULAN:
"Maka aku akan ciptakan ruang di mana kompleksitas adalah komoditas."
KONFRONTASI DI HUTAN DIGITAL
Hutan. Tapi bukan hutan biasa. Ini semesta virtual buatan Selendang.AI. Jaka dan Wulan bertemu.
JAKA:
"Aku nggak minta dimaafkan. Tapi aku minta kesempatan jadi manusia."
NAWANG WULAN:
"Aku bukan lagi bidadari yang kamu curi. Aku perempuan yang kamu hadapi."
JAKA:
"Kita ini kisah yang tak kelar-kelar."
NAWANG WULAN:
"Karena kisah kita dipakai terus oleh dunia yang nggak pernah peduli kita utuh atau rusak."
FORUM NARASI DIGITAL GLOBAL
Sebuah panggung di metaverse. Semua karakter legenda Nusantara hadir: Timun Mas, Ande-Ande Lumut, Sangkuriang, Rara Jonggrang, bahkan Buto Ijo.
TIMUN MAS:
"Kita semua punya luka dari cerita lama. Tapi kita juga punya hak atas versi kita sendiri."
ANDE-ANDE LUMUT:
"Cerita itu bukan peninggalan. Cerita itu proses."
RARA JONGGRANG:
"Dan kita bukan cuma tokoh. Kita penulis dari luka-luka itu."
GANDRING:
(dari layar hologram)
"Selamat datang di era pasca-dongeng. Di mana karakter bisa menuntut narasi."
Semua mata mengarah ke Wulan dan Jaka.
NAWANG WULAN:
"Bukan tentang siapa korban, siapa pelaku. Tapi siapa yang bersedia tumbuh dan menulis ulang. Bersama."
FADE OUT: SUARA DEEPFAKE NARATOR
"Ini bukan cerita lama. Ini cerita baru, yang belum selesai. Yang akan terus tumbuh, di setiap klik dan guliranmu."
SNAPSHOT 🖼️
Cuplikan-cuplikan quotes ini bisa jadi preview catchy untuk media sosial:
"Nasi yang dulu dimasak dengan mantra, kini dimonetisasi lewat konten YouTube." 🍚🎥
"Jaka Tarub bukan cuma pencuri selendang—dia korban sistem patriarki yang belum paham consent." 🚨
"Nawang Wulan harus memilih: jadi dewi penuh rahasia, atau selebgram yang transparan total." 🌟
"Di era AI, bahkan cerita kuno pun bisa direkayasa ulang demi engagement." 🤖📈
"Gandring 3.0 bukan empu keris, tapi empu algoritma." ⚙️📜
"Cancel culture tak hanya menimpa manusia modern, tapi juga tokoh legenda yang salah narasi." ⛔
"Selendang itu bukan sekadar kain. Itu simbol kuasa, privasi, dan identitas." 🧣
"Apakah mitos harus selalu sakral, atau boleh diremix demi relevansi zaman?" 🔄
"Dewi-dewi langit pun sekarang ngantor di startup spiritual. Work-life balance mereka nggak kalah ribet." ☁️💻
EPILOG 🌀
Di akhir kisah ini, kita menyadari bahwa cerita tak pernah benar-benar selesai. Ia hidup, bertransformasi, dan selalu mencari bentuk barunya sendiri—terutama di zaman di mana batas antara fiksi dan fakta makin kabur.
Jaka Tarub dan Nawang Wulan tidak lagi hanya menjadi kisah pelipur lara. Mereka kini cermin dari realitas kita yang multitafsir. Mereka mengajukan gugatan: tentang siapa yang berhak menulis ulang masa lalu, siapa yang diuntungkan oleh narasi, dan siapa yang kehilangan suara di tengah gegap gempita digitalisasi.
Apa yang dulunya dongeng, kini menjadi debat identitas. Apa yang dulunya mitos, kini adalah ruang tawar antara etika dan algoritma. Di sinilah makna story tanpa kadaluarsa menjadi nyata: ia bukan sekadar cerita yang tak habis dimakan waktu, tapi cerita yang terus meminta untuk dibaca ulang—dengan mata yang lebih sadar, dan hati yang lebih bijak.
Karena sejatinya, semua kisah adalah milik bersama. Tapi tak semua kisah punya kesempatan untuk bersuara kembali.
Dan kali ini, giliran mereka.
MOMEN KAMU 🚀
Kini saatnya kamu tidak hanya menjadi pembaca, tapi juga penjaga cerita. Dunia berubah, dan kisah-kisah lama perlu pembaca baru yang mampu meresapi lebih dalam dari sekadar romantisasi masa lalu.
Kalau kamu pernah merasa bahwa dongeng masa kecilmu terasa janggal, kini kamu punya kesempatan untuk membaca ulang semuanya dengan sudut pandang baru. Apa yang dulu tak dipertanyakan, kini layak dipertanyakan ulang.
Beri ruang untuk mitologi yang hidup. Beri ruang untuk narasi-narasi lama agar bisa tumbuh di zaman baru. Jadilah bagian dari komunitas yang menghidupkan kisah, bukan hanya mengkonsumsinya. Ceritakan kembali, komentari, atau bahkan buat versimu sendiri!
Tertarik untuk menjelajah lebih jauh? Tertawa, bertanya, atau berbagi? Komentar kamu bisa jadi awal bagi kisah berikutnya. Diskusi kita bukan soal benar atau salah, tapi tentang menggali makna.
Berikan sentuhan istimewa pada hidupmu. Gabung dengan komunitas terpilih. Suaramu penting. Langkah kecilmu akan punya dampak besar. Ayo, ambil peran!
Momen Kamu dimulai sekarang!
HASTAG 🏷️
#StoryTanpaKadaluarsa #DongengReborn #JakaTarubViral #NawangWulan2025 #FolkloreFuturism #MitosDigital #CeritaBicaraLagi #AntiExpired #NarasiLamaBangkit #SelendangBerbicara #ReclaimCerita
Komentar
Posting Komentar